A. Latar Belakang
Berbicara mengenai masyarakat Karo, tentunya bukan saja mengupas komunitas orang Karo di kabupaten Karo. Darwan Prinst, seorang tokoh masyarakat Karo memperkirakan ada sekitar tiga juta jiwa jumlah orang Karo di Indonesia (Kompas , 18/10/2001) yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Sumatera Utara, seperti: Karo, Deli Serdang, Medan, Binjai, Langkat, hingga ke Dairi, Aceh Tengara, Simalungun serta di pulau Jawa. Sementara jumlah masyarakat Karo di kabupaten Karo sendiri kurang dari 300.000 jiwa. Artinya mayoritas masyarakat Karo telah berdomisili di luar Tanah Karo.
Namun menarik dicermati bahwa orang Karo bila berada dalam suatu komunitas dimana ia merupakan minoritas, tidak jarang atau bahkan sering terjadi (orang Karo) meneyembunyikan identitasnya. Berbicara sesama orang Karo di dalam bis misalnya, mereka menggunakan bahasa Indonesia, atau mungkin di pasar, tempat pekerjaan dsb. Kurangnya kesadaran untuk menunjukkan identitas ini menyebabkan orang lain terutama di luar etnis dari Sumatera Utara sering mengenal orang Karo sebagai orang Batak. Sekalipun pendapat itu tidak salah, namun pengenalan seperti itu juga tidak sepenuhnya benar. Sebab suku batak terdiri dari lima etnis, yaitu: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing dan Pakpak Dairi.
Sebenarnya dalam beberapa sektor orang Karo sangat menonjol yang dapat memberi pengaruh positif bagi eksistensi masyarakat Karo dalam pergaulan nasional. Prof. DR. H.R. Brahmana, seorang Guru Besar dari Universitas Sumatera Utara menyebutkan dua bidang potensi utama orang Karo, yaitu: Pertama, Pertanian, dimana hasil pertanian dari tanah Karo telah menembus pasar ekspor. Petani dari Tanah Karo dikenal ulet. Kedua,Transportasi, dimana banyak terdapat pengusaha Karo di bidang transportasi baik antar provinsi dan juga di daerah, yang menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Namun, selain kedua bidang di atas masih ada bidang lain dimana orang Karo cukup menonjol, seperti: Pariwisata, alam Tanah Karo yang indah dan budayanya yang unik yang sudah dikenal sampai mancanegara merupakan suatu keunggulan yang cukup berharga.
Olah raga catur, dimana terdapat pecatur-pecatur putra Karo yang bertarap internasional dan nasional.
Pendidikan, dimana secara rata-rata jumlah masyarakat Karo yang berpendidikan tinggi secara persentase di atas rata-rata etnis lain di Indonesia.
Tetapi dalam pengamatan Darwan Prinst ada beberapa faktor penyebab menyusutnya jumlah orang Karo dan meninggalkan merga-nya, yaitu: Pertama, pada zaman perang kemerdekaan banyak orang Karo meninggalkan marganya agar tidak dikejar-kejar oleh penjajah. Kedua, sejak tahun 1970-an banyak orang Karo meninggalkan agama asli orang Karo yaitu pemena dan memilih agama yang baru yaitu Keristen dan Islam. Sebab agama pemena dituduh kafir. Terlebih pemeluk agama Islam banyak yang kawin dan berasimilasi dengan etnis lain dan banyak meninggalkan merga-nya.
Pada bagian ini, penulis ingin melihat dari sisi lain, mengapa orang Karo kurang bangga menunjukkan identitasnya serta meninggalkan marganya. Tulisan ini akan mengupas tentang kurangnya nilai kepahlawanan atau ketokohan dalam masyarakat Karo sebagai sebab lain kurangnya kebanggaan terhadap identitas ke-karo-annya.
Dari beberapa suku di tanah air yang cukup bangga dengan latar belakang etnisnya dalam pergaulan sehari-hari, dapat dipastikan telah ada pahlawan ataupun banyak tokoh dari kalangan mereka. Katakan saja etnis Jawa, Padang, Toba, Sunda, Manado dan seterusnnya. Telah ada pahlawan dan tokoh di masyarakat yang dikenal luas di tanah air. Hal inilah yang memberikan endorsment ataupun legitimasi bahwa suku mereka adalah tangguh dan hebat. Serta akan menjadi inspirasi bagi generasi penerus etnis itu dengan penuh rasa bangga. Apalagi nama pahlawan itu dipakai menjadi nama jalan di berbagai kota di tanah air.
B. Kepahlawanan Dan Ketokohan Dalam Masyarakat Karo
Kepahlawanan ataupun ketokohan dalam masyarakat Karo sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Cerita rakyat Pawang Ternalem misalnya salah satu contoh karya seni rakyat Karo yang memiliki nilai-nilai keteladanan . Cerita itu tentu dapat memberi inspirasi rasa kepahlawanan bagi yang menghayatinya.
Dalam sejarah sebelum kolonial Belanda kita mengenal Guru Patimpus tokoh pendiri kota Medan yang bermarga Sembiring Pelawi yang menikah dengan beru Tarigan. (Sejarah Medan, Sejarah Multi Kebudayaan, Kompas 02/07/01). Hidup sekitar akhir abad XV hingga pertengahan abad XVI. Ia membuka kampung Medan di antara sungai Babura dan sungai Deli. Dikenal sebagai seorang tabib (guru dalam bahasa Karo = dukun) yang terkenal ketika itu. Sehingga banyak yang berobat kepadanya dan kampung Medan makin ramai. Hingga kini nama Guru Patimpus diabadikan menjadi nama salah satu jalan utama di kota Medan. Selain Guru Patimpus, ayahnya sendiri Tuan Si Raja Hita adalah peminpin Karo ketika itu yang tinggal di kampung Pekan (Pakan). Di Sunggal pernah dipinpin oleh Datuk Itam Surbakti yang menjadi raja Sunggal, tokoh yang hidup sekitar abat XVI.
Belanda masuk ke daerah Deli pertama kali pada tahun 1641 dengan kapal pinpinan Arrent Patter, yang selanjutnya membuka perkebunan tembakau. Orang Karo yang banyak mendiami wilayah ini merasa terpinggirkan oleh konsesi perkebunan sehingga sering memberontak dan membakar bangsal-bangsal gudang tembakau. Mereka tidak mau bekerja sama dengan Belanda sehingga dicap pemalas oleh para kolonial. Perang ini dinamakan oleh belanda sebagai Batak Oorlog (perang Batak) yang mengacu kepada orang Karo. Sementara masyarakat Karo menamai perang ini sebagai perang Sunggal, merupakan perang yang paling lama di daerah Sumatera. Akhirnya, tahun 1863 kapal Josephine membawa pekerja dari pulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan itu, karena orang Karo sulit dipaksa bekerja.
Setelah membuka perkebunan antara sungai Ular dan sungai Wampu, yang ketika itu masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur, Belanda ingin melakukan ekspansi ke Tanah Karo tahun 1870, sebab daerah ini juga memiliki tanah yang subur. Tetapi usaha tersebut selau mendapat rintangan dari tokoh masyarakat Karo ketika itu diantaranya Kiras Bangun yang dikenal dengan Garamata. (Makalah Prof. DR Masri Singarimbun, Seminar di Kampus USU 30 Mei 1993). Perjuangan Garamata (si mata merah) selalu menolak usaha Belanda untuk membuka perkebunan di Tanah Karo).
Tahun 1890 Netherland Zendeling Genooschap (NZG) dari Belanda melakukan penginjilan bagi orang Karo yang diawali di desa Buluh Awar, Sibolangit. Menurut pendapat beberapa pandangan bahwa hal ini dilakukan Belanda adalah strategi untuk memperlunak sikap orang Karo dan kemudian dapat melaksanakan rencananya membuka perkebunan. Sekalipun pendapat lain mengatakan bahwa penginjilan terhadap orang Karo murni untuk misi penginjilan. Dimana pada akhirnya misi ini melahirkan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
Pada perkembangannya, berbagai usaha yang telah ditempuh kolonial tetap ditolak oleh Garamata. Tahun 1902 Belanda mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu ke Tanah Karo. Pasukan ini dihadang pasukan Garamata yang bernama pasukan Simbisa/Urung yang jumlahnya ribuan orang pria dan wanita. Pertempuran terjadi sebanyak enam kali. Beberapa daerah yang ikut melakukan perlawanan terhadal kolonial yaitu: Seberaya, Kabanjahe, Batukarang, Lingga Julu, Kandibata, Singgamanik dan Kuta Rih. Pada akhirnya Garamata ditangkap dan diasingkan selama empat tahun di perladangan Riung.
Tetapi usaha pembukaan perkebunan di Tanah Karo tidak pernah terealisasi. Yang terjadi kemudian adalah mengirim Tuan Botje tenaga penyuluh pertanian melalui NZG ke dataran tinggi Karo pada bulan September 1910. Dimana dampaknya hingga kini Tanah Karo dikenal sebagai salah satu sentra produksi pertanian holticultura.
Pada masa perang kemerdekaan cukup banyak pejuang-pejuang Karo yang tercatat dalam sejarah. Dalan catatan sejarah Drs Teridah Bangun, pada agresi Belanda I tahun 1947 banyak kuta (kampung) yag dibumi-hanguskan supaya tidak dapat dipergunakan oleh penjajah. Terdapat 53 kuta yang dibumihanguskan di Tanah Karo, yakni: 1. Jumaraja (Cintarayat); 2. Keling; 3. Payung; 4. Berastepu; 5. Batukarang; 6. Sarinembah; 7. Perbesi; 8. Kuala; 9. Kutabangun; 10. Pergendangen; 11. Keriahen; 12. Singgamanik; 13. Kinepen; 14. Munthe; 15. Suka; 16. Rumah Kabanjahe; 17. Kota Kabanjahe; 18. Berastagi; 19. Kacaribu; 20. Kandibata; 21. Lau Baleng; 22. Susuk; 23. Tiganderket. 24. Kuta Buluh; 25. Tanjung; 26. Gurukinayan; 27. Selandi 28. Kidupen; 29. Gunungmanukpa; 30. Toraja; 31. Silakkar; 32. Rajatengah; 33. Tigabinanga; 34. Ajinembah; 35. Tiga Panah; 36. Barus Jahe; 37. Tigajumpa; 38. Merek; 39. Tengging; 40. Garingging; 41. Ergaji; 42. Barung Kersap; 43. Tanjung Beringin; 44. Naman; 45. Sukadebi; 46. Kutatengah; 47. Sigarang-garang; 48. Ndeskati; 49. Gamber; 50. Gruhguh; 51. Sukajulu; 52. Kuta Lepar; dan 53. Mbang Sibabi.
Kemudian rakyat mengungsi ke Tanah Pakpak Dairi dan Tanah Alas di Aceh. Setelah perjanjian Renville Januari 1948 mereka kembali ke kampungnya masing-masing. Di alam kemerdekaan juga terdapat beberapa tokoh orang Karo yang berkiprah secara nasional dan lokal. Mereka diantaranya misalnya:
Letjen Djamin Ginting, ia muncul sebagai tokoh pejuang kemerdekaan setelah terjadi pemberontak di daerah Sumatera. Setelah Pemberontakan ditumpas, Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang meliputi wilayah seluruh Sumatera tahun 1957-1958. Kemudian diangkat menjadi duta besar untuk Kanada tahun 1972-1975. Dan beliau wafat dalam masa tugasnya. Kini nama Letjen Djamin Ginting telah diabadikan menjadi nama jalan di Medan, mulai dari Padang Bulan, Medan hingga Kabanjahe, serta dari Binjai hingga Namo Ukur, kabupaten Langkat. (Bisa jadi nama jalan yang paling panjang di Sumatera Utara). Selain itu, monument Letjen Djamin Ginting telah dibuat dengan megah di Kodam Bukit Barisan. Semasa hidupnya,Djamin Ginting sangat memberi pengaruh bagi eksistensi masyarakat Karo.
Djaga Depari, seniman Karo yang telah telah menciptakan banyak karya musik seperti Piso Surit, Terang Bulan dan juga lagu perjuangan Erkata Bedil. Kini monumen Djaga Depari telah diabadikan di daerah Padang Bulan Medan.
Ulung Sitepu, ia merupakan satu-satunya putra Karo yang pernah menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara hingga saat ini. Latar belakangnya adalah militer dan ia mejabat gubernur sejak 1963-1965. Ketika terjadi pemberontakan PKI pada September 1965 ia dituduh terlibat karena sebagian pendukungnya untuk menjadi gubernur berasal dari Partai Komunis. Ia digantikan sebelum masa jabatannya berakhir, namun belum dibuktikan apakah ia seorang partisan atau tidak. Sejak itu, praktis Orde Baru yang berkuasa, dan sangat sedikit takoh orang Karo yang muncul kepermukaan. Apalagi ketika itu daerah Karo merupakan basis dari PNI partai pinpinan Bung Karno.
Selain nama di atas ada beberapa nama yang layak dipandang sebagai tokoh kalaupun bukan pahlawan, seperti Brigjen Selamat Ginting pejuang pada saat agresi militer I dan II Belanda. Selain itu Kolonel Nelang Sembiring, pejuang Karo dan tokoh pendiri SMAN Kabanjahe, SMAN Pancurbatu, SMAN Tebing Tinggi, SMAN Binjai, salah satu pendiri Universitas Nommensen dan pemrakarsa berdirinya Universita Sumatera Utara. Serta tokoh-tokoh lain yang masih perlu kita digali.
C. Apresiasi Nilai Kepahlawanan Dalam Masyarakat Karo
Dalam pentas nasional dapat dikatakan masih sedikit sekali tokoh Karo yang muncul kepermukaan, bahkan belum ada pejuang dari masyarakat Karo yang berstatus sebagai pahlawan nasional. Padahal begitu banyak pejuang dan pengorbanan masyarakat Karo dalam berjuang mengusir penjajah. Yang menjadi masalah adalah sangat sedikit pemerhati dan pemikir Karo yang berusaha menggali dan mengusulkan nama pejuang menjadi pahlawan nasional. Mungkin hanya almarhum Prof. DR Masri Singarimbun satu-satunya yang telah berusaha secara ilmiah memberi perhatian dalam hal ini, yakni dengan mengankat nama Kiras Bangun atau Garamata dalam suatu seminar tahun 1993 di Kampus USU Medan. Kini Kiras Bangun telah resmi menjadi pahlawan nasional oleh Presiden SBY beberapa waktu lalu (MVW).
Kini, tampaknya kesadaran itu sudah mulai ada sejak pertengahan tahun 1990-an dengan mengabadikan nama Letjen Djamin Ginting menjadi nama jalan di Medan, Kabanjahe, Berastagi, Binjai dan Langkat. Tetapi itupun masih terbatas dalam beberapa wilayah Sumatera Utara, belum mencapai wilayah seluruh Indonesia. (Itu merupakan hutang sejarah kita ke depan). Selain itu juga telah dibangunnya tugu Djaga Depari di daerah Padang Bulan, Medan yang sangat berguna untuk pengenalan terhadap terhadap generasi muda tehadap komponis Karo yang produktif ini.
Selain itu, pemerintah kabupaten Karo juga mulai menyadari akan hal ini, yakni beberapa waktu silam, Bupati Karo Sinar Peranginangin telah menetapkan pembangunan tugu Ir. Soekarno setinggi tujuh meter di Berastagi. Hal ini juga merupakan salah satu cara menumbuhkan rasa kepahlawanan bagi masyarakat. Dimana Bapak Proklamator tersebut cukup dekat dengan rakyat Karo karena beliau pernah diasingkan di Berastagi bersama Bung Hatta pada bulan Desember 1948. Di dalam pengasingan juga pernah ditemani oleh Haji Agus Salim.
Selanjutnya, masyarakat Karo yang dikenal terbuka juga sering memberikan anugrah merga/beru bagi banyak tokoh di luar masyarakat Karo yang diangkat menjadi anggota masyarakat Karo. Cara ini sering disebut iosei/iuis-garai dan ditahbiskan dalam suatu upacara adat kemudian diberi merga atau beru. Tokoh yang pernah di-osei, antara lain:
- Megawati Soekarnoputri, dianugrahi beru Peranginangin ketika masih menjabat ketua PDI sebelum terbagi menjadi dua.
- Guruh Soekarnoputra, juga diberi merga Peranginangin
.
- Soedarmono, SH. Mantan Ketua Golkar diberi marga Sitepu.
- Letjen Dibyo Widodo, mantan Kapolri disahkan menjadi merga Kaban, dll.
D. Masyarakat Karo Di Era Otonomi Dan Dalam Konteks Globalisasi
Pembangunan sistem nilai kepahlawanan merupakan salah satu pemicu bagi eksistensinya suatu etnis. Lahirnya para pahlawan ataupun tokoh akan mendorong suatu generasi untuk terus berinovasi serta berusaha berbuat lebih baik. Saya kira hukumnya berbanding lurus. Semakin banyak pahlawan/tokoh dari suatu etnis, maka akan berpengaruh semakin bangga masyarat tersebut akan identitasnya.
Di dalam konteks otonomi daerah dan isu globalisasi, masyarakat Karo tentu harus terus berbenah tarutama dalam bidang pendidikan. Munculnya banyak tokoh di luar Tanah Karo akan mendorong generasi muda keluar dari daerah dan diharapkan pada waktunya muncul tokoh-tokoh muda Karo yang bertarap nasional dan internasional.
Thomas L Friedman, seorang jurnalis dari New York Times mengatakan, suatu bangsa akan lebih cepat maju apa bila bangsa itu terbuka. Artinya terbuka terhadap dunia luar (globalisasi ataupun pasar bebas). Ia menyebutkan, negara-negara terkebelakang di dunia seperti: Kuba, Korea Utara, negara-negara di sebagian Afrika menjadi negara miskin karena sistem negara itu tertutup dengan pergaulan dunia. Hal yang sama dapat kita jumpai pada suku-suku yang terkebelakang di nusantara, milsalnya Baduy di Jawa Barat, suku di pedalaman Sumatera, Kalimantan atau Papua, mereka sangat terkebelakang akibat belum terbuka dengan suku di luar mereka.
Sementera itu etnis yang tergolong tangguh di Asia yaitu etnis Cina. Menurut catatan John Naisbitt seorang futurolog, dalam bukunya Mega Trends Asia mengatakan, kumpulan dari seluruh cina perantauan secara ekonomi hanya mampu dikalahkan oleh Amerika. Mereka jauh lebih maju dibandingkan saudaranya yang tinggal di daratan Cina. Ia mengemukakan lagi bahwa komunitas Cina di Indonesia sekitar 4% tetapi mengontrol 70% ekonomi, di Thailand 3% mengontrol 60%, di Philipina 3% mengontrol 70%. Selanjutnya, banyak perusahaan di di bursa saham Asia pemegang saham mayoritasnya adalah etnis Cina. Di Thailand 81%, Singapura 80%, Indonesia 73%, Malaysia 62%, Philipina 50%.
Kesimpulan yang perlu ditarik dari hal tersebut bahwa dalam persaingan global maupun dalam konteks otonomi, bahwa populasi suatu etnis tidak satu-satunya yang menentukan, tetapi kualitaslah yang menjadi sangat penting. Hal tersebut dapat dijadikan menjadi tolok ukur bagi kalak Karo. Dimana bagi etnis Cina pendidikan itu menjadi suatu hal yang sangat penting, sehingga mereka selalu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik di dalam dan luar negeri. Selesai pendidikan mereka mencari kerja yang bergengsi di level menengah ke atas atau menciptakan lapangan kerja sendiri (wiraswasta). Kondisi itu telah terjadi di Indonesia, bahwa para manajer-manajer dan pinpinan perusahaan lebih banyak dari etnis Cina, sementara orang pribumi harus puas dengan status karyawan.
E. Penutup dan Saran
Melihat sangat sedikitnya orang Karo yang tampil kepermukaan sebagai pahlawan ataupun tokoh, maka kita sebagai generasi muda berhutang untuk menggali sejarah guna mengangkat fakta bahwa ada tokoh Karo yang layak diangkat sebagai pahlawan. Kita sebagai generasi muda Karo teruslah belajar dan mengembangkan diri, sehingga pada waktunya kelak kita juga layak menjadi tokoh yang menjadi teladan. Demikian tulisan ini. Kiranya bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
<p>Bujur ras mejuah-juah kita kerina.</p> <p> </p>
* Ditulis oleh Martin L Peranginangin, disampaikan pada seminar sehari Mahasiswa Karo se-Bandung Raya. Kampus ITB, 4 Oktober 2002
* Garamata (Kiras Bangun) dianugrahkan gelar pahlawan oleh presiden SBY pada 9 November 2005 daam rangka menyambut hari Pahlawan 10 November.
Berbicara mengenai masyarakat Karo, tentunya bukan saja mengupas komunitas orang Karo di kabupaten Karo. Darwan Prinst, seorang tokoh masyarakat Karo memperkirakan ada sekitar tiga juta jiwa jumlah orang Karo di Indonesia (Kompas , 18/10/2001) yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Sumatera Utara, seperti: Karo, Deli Serdang, Medan, Binjai, Langkat, hingga ke Dairi, Aceh Tengara, Simalungun serta di pulau Jawa. Sementara jumlah masyarakat Karo di kabupaten Karo sendiri kurang dari 300.000 jiwa. Artinya mayoritas masyarakat Karo telah berdomisili di luar Tanah Karo.
Namun menarik dicermati bahwa orang Karo bila berada dalam suatu komunitas dimana ia merupakan minoritas, tidak jarang atau bahkan sering terjadi (orang Karo) meneyembunyikan identitasnya. Berbicara sesama orang Karo di dalam bis misalnya, mereka menggunakan bahasa Indonesia, atau mungkin di pasar, tempat pekerjaan dsb. Kurangnya kesadaran untuk menunjukkan identitas ini menyebabkan orang lain terutama di luar etnis dari Sumatera Utara sering mengenal orang Karo sebagai orang Batak. Sekalipun pendapat itu tidak salah, namun pengenalan seperti itu juga tidak sepenuhnya benar. Sebab suku batak terdiri dari lima etnis, yaitu: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing dan Pakpak Dairi.
Sebenarnya dalam beberapa sektor orang Karo sangat menonjol yang dapat memberi pengaruh positif bagi eksistensi masyarakat Karo dalam pergaulan nasional. Prof. DR. H.R. Brahmana, seorang Guru Besar dari Universitas Sumatera Utara menyebutkan dua bidang potensi utama orang Karo, yaitu: Pertama, Pertanian, dimana hasil pertanian dari tanah Karo telah menembus pasar ekspor. Petani dari Tanah Karo dikenal ulet. Kedua,Transportasi, dimana banyak terdapat pengusaha Karo di bidang transportasi baik antar provinsi dan juga di daerah, yang menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Namun, selain kedua bidang di atas masih ada bidang lain dimana orang Karo cukup menonjol, seperti: Pariwisata, alam Tanah Karo yang indah dan budayanya yang unik yang sudah dikenal sampai mancanegara merupakan suatu keunggulan yang cukup berharga.
Olah raga catur, dimana terdapat pecatur-pecatur putra Karo yang bertarap internasional dan nasional.
Pendidikan, dimana secara rata-rata jumlah masyarakat Karo yang berpendidikan tinggi secara persentase di atas rata-rata etnis lain di Indonesia.
Tetapi dalam pengamatan Darwan Prinst ada beberapa faktor penyebab menyusutnya jumlah orang Karo dan meninggalkan merga-nya, yaitu: Pertama, pada zaman perang kemerdekaan banyak orang Karo meninggalkan marganya agar tidak dikejar-kejar oleh penjajah. Kedua, sejak tahun 1970-an banyak orang Karo meninggalkan agama asli orang Karo yaitu pemena dan memilih agama yang baru yaitu Keristen dan Islam. Sebab agama pemena dituduh kafir. Terlebih pemeluk agama Islam banyak yang kawin dan berasimilasi dengan etnis lain dan banyak meninggalkan merga-nya.
Pada bagian ini, penulis ingin melihat dari sisi lain, mengapa orang Karo kurang bangga menunjukkan identitasnya serta meninggalkan marganya. Tulisan ini akan mengupas tentang kurangnya nilai kepahlawanan atau ketokohan dalam masyarakat Karo sebagai sebab lain kurangnya kebanggaan terhadap identitas ke-karo-annya.
Dari beberapa suku di tanah air yang cukup bangga dengan latar belakang etnisnya dalam pergaulan sehari-hari, dapat dipastikan telah ada pahlawan ataupun banyak tokoh dari kalangan mereka. Katakan saja etnis Jawa, Padang, Toba, Sunda, Manado dan seterusnnya. Telah ada pahlawan dan tokoh di masyarakat yang dikenal luas di tanah air. Hal inilah yang memberikan endorsment ataupun legitimasi bahwa suku mereka adalah tangguh dan hebat. Serta akan menjadi inspirasi bagi generasi penerus etnis itu dengan penuh rasa bangga. Apalagi nama pahlawan itu dipakai menjadi nama jalan di berbagai kota di tanah air.
B. Kepahlawanan Dan Ketokohan Dalam Masyarakat Karo
Kepahlawanan ataupun ketokohan dalam masyarakat Karo sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Cerita rakyat Pawang Ternalem misalnya salah satu contoh karya seni rakyat Karo yang memiliki nilai-nilai keteladanan . Cerita itu tentu dapat memberi inspirasi rasa kepahlawanan bagi yang menghayatinya.
Dalam sejarah sebelum kolonial Belanda kita mengenal Guru Patimpus tokoh pendiri kota Medan yang bermarga Sembiring Pelawi yang menikah dengan beru Tarigan. (Sejarah Medan, Sejarah Multi Kebudayaan, Kompas 02/07/01). Hidup sekitar akhir abad XV hingga pertengahan abad XVI. Ia membuka kampung Medan di antara sungai Babura dan sungai Deli. Dikenal sebagai seorang tabib (guru dalam bahasa Karo = dukun) yang terkenal ketika itu. Sehingga banyak yang berobat kepadanya dan kampung Medan makin ramai. Hingga kini nama Guru Patimpus diabadikan menjadi nama salah satu jalan utama di kota Medan. Selain Guru Patimpus, ayahnya sendiri Tuan Si Raja Hita adalah peminpin Karo ketika itu yang tinggal di kampung Pekan (Pakan). Di Sunggal pernah dipinpin oleh Datuk Itam Surbakti yang menjadi raja Sunggal, tokoh yang hidup sekitar abat XVI.
Belanda masuk ke daerah Deli pertama kali pada tahun 1641 dengan kapal pinpinan Arrent Patter, yang selanjutnya membuka perkebunan tembakau. Orang Karo yang banyak mendiami wilayah ini merasa terpinggirkan oleh konsesi perkebunan sehingga sering memberontak dan membakar bangsal-bangsal gudang tembakau. Mereka tidak mau bekerja sama dengan Belanda sehingga dicap pemalas oleh para kolonial. Perang ini dinamakan oleh belanda sebagai Batak Oorlog (perang Batak) yang mengacu kepada orang Karo. Sementara masyarakat Karo menamai perang ini sebagai perang Sunggal, merupakan perang yang paling lama di daerah Sumatera. Akhirnya, tahun 1863 kapal Josephine membawa pekerja dari pulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan itu, karena orang Karo sulit dipaksa bekerja.
Setelah membuka perkebunan antara sungai Ular dan sungai Wampu, yang ketika itu masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur, Belanda ingin melakukan ekspansi ke Tanah Karo tahun 1870, sebab daerah ini juga memiliki tanah yang subur. Tetapi usaha tersebut selau mendapat rintangan dari tokoh masyarakat Karo ketika itu diantaranya Kiras Bangun yang dikenal dengan Garamata. (Makalah Prof. DR Masri Singarimbun, Seminar di Kampus USU 30 Mei 1993). Perjuangan Garamata (si mata merah) selalu menolak usaha Belanda untuk membuka perkebunan di Tanah Karo).
Tahun 1890 Netherland Zendeling Genooschap (NZG) dari Belanda melakukan penginjilan bagi orang Karo yang diawali di desa Buluh Awar, Sibolangit. Menurut pendapat beberapa pandangan bahwa hal ini dilakukan Belanda adalah strategi untuk memperlunak sikap orang Karo dan kemudian dapat melaksanakan rencananya membuka perkebunan. Sekalipun pendapat lain mengatakan bahwa penginjilan terhadap orang Karo murni untuk misi penginjilan. Dimana pada akhirnya misi ini melahirkan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
Pada perkembangannya, berbagai usaha yang telah ditempuh kolonial tetap ditolak oleh Garamata. Tahun 1902 Belanda mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu ke Tanah Karo. Pasukan ini dihadang pasukan Garamata yang bernama pasukan Simbisa/Urung yang jumlahnya ribuan orang pria dan wanita. Pertempuran terjadi sebanyak enam kali. Beberapa daerah yang ikut melakukan perlawanan terhadal kolonial yaitu: Seberaya, Kabanjahe, Batukarang, Lingga Julu, Kandibata, Singgamanik dan Kuta Rih. Pada akhirnya Garamata ditangkap dan diasingkan selama empat tahun di perladangan Riung.
Tetapi usaha pembukaan perkebunan di Tanah Karo tidak pernah terealisasi. Yang terjadi kemudian adalah mengirim Tuan Botje tenaga penyuluh pertanian melalui NZG ke dataran tinggi Karo pada bulan September 1910. Dimana dampaknya hingga kini Tanah Karo dikenal sebagai salah satu sentra produksi pertanian holticultura.
Pada masa perang kemerdekaan cukup banyak pejuang-pejuang Karo yang tercatat dalam sejarah. Dalan catatan sejarah Drs Teridah Bangun, pada agresi Belanda I tahun 1947 banyak kuta (kampung) yag dibumi-hanguskan supaya tidak dapat dipergunakan oleh penjajah. Terdapat 53 kuta yang dibumihanguskan di Tanah Karo, yakni: 1. Jumaraja (Cintarayat); 2. Keling; 3. Payung; 4. Berastepu; 5. Batukarang; 6. Sarinembah; 7. Perbesi; 8. Kuala; 9. Kutabangun; 10. Pergendangen; 11. Keriahen; 12. Singgamanik; 13. Kinepen; 14. Munthe; 15. Suka; 16. Rumah Kabanjahe; 17. Kota Kabanjahe; 18. Berastagi; 19. Kacaribu; 20. Kandibata; 21. Lau Baleng; 22. Susuk; 23. Tiganderket. 24. Kuta Buluh; 25. Tanjung; 26. Gurukinayan; 27. Selandi 28. Kidupen; 29. Gunungmanukpa; 30. Toraja; 31. Silakkar; 32. Rajatengah; 33. Tigabinanga; 34. Ajinembah; 35. Tiga Panah; 36. Barus Jahe; 37. Tigajumpa; 38. Merek; 39. Tengging; 40. Garingging; 41. Ergaji; 42. Barung Kersap; 43. Tanjung Beringin; 44. Naman; 45. Sukadebi; 46. Kutatengah; 47. Sigarang-garang; 48. Ndeskati; 49. Gamber; 50. Gruhguh; 51. Sukajulu; 52. Kuta Lepar; dan 53. Mbang Sibabi.
Kemudian rakyat mengungsi ke Tanah Pakpak Dairi dan Tanah Alas di Aceh. Setelah perjanjian Renville Januari 1948 mereka kembali ke kampungnya masing-masing. Di alam kemerdekaan juga terdapat beberapa tokoh orang Karo yang berkiprah secara nasional dan lokal. Mereka diantaranya misalnya:
Letjen Djamin Ginting, ia muncul sebagai tokoh pejuang kemerdekaan setelah terjadi pemberontak di daerah Sumatera. Setelah Pemberontakan ditumpas, Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang meliputi wilayah seluruh Sumatera tahun 1957-1958. Kemudian diangkat menjadi duta besar untuk Kanada tahun 1972-1975. Dan beliau wafat dalam masa tugasnya. Kini nama Letjen Djamin Ginting telah diabadikan menjadi nama jalan di Medan, mulai dari Padang Bulan, Medan hingga Kabanjahe, serta dari Binjai hingga Namo Ukur, kabupaten Langkat. (Bisa jadi nama jalan yang paling panjang di Sumatera Utara). Selain itu, monument Letjen Djamin Ginting telah dibuat dengan megah di Kodam Bukit Barisan. Semasa hidupnya,Djamin Ginting sangat memberi pengaruh bagi eksistensi masyarakat Karo.
Djaga Depari, seniman Karo yang telah telah menciptakan banyak karya musik seperti Piso Surit, Terang Bulan dan juga lagu perjuangan Erkata Bedil. Kini monumen Djaga Depari telah diabadikan di daerah Padang Bulan Medan.
Ulung Sitepu, ia merupakan satu-satunya putra Karo yang pernah menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara hingga saat ini. Latar belakangnya adalah militer dan ia mejabat gubernur sejak 1963-1965. Ketika terjadi pemberontakan PKI pada September 1965 ia dituduh terlibat karena sebagian pendukungnya untuk menjadi gubernur berasal dari Partai Komunis. Ia digantikan sebelum masa jabatannya berakhir, namun belum dibuktikan apakah ia seorang partisan atau tidak. Sejak itu, praktis Orde Baru yang berkuasa, dan sangat sedikit takoh orang Karo yang muncul kepermukaan. Apalagi ketika itu daerah Karo merupakan basis dari PNI partai pinpinan Bung Karno.
Selain nama di atas ada beberapa nama yang layak dipandang sebagai tokoh kalaupun bukan pahlawan, seperti Brigjen Selamat Ginting pejuang pada saat agresi militer I dan II Belanda. Selain itu Kolonel Nelang Sembiring, pejuang Karo dan tokoh pendiri SMAN Kabanjahe, SMAN Pancurbatu, SMAN Tebing Tinggi, SMAN Binjai, salah satu pendiri Universitas Nommensen dan pemrakarsa berdirinya Universita Sumatera Utara. Serta tokoh-tokoh lain yang masih perlu kita digali.
C. Apresiasi Nilai Kepahlawanan Dalam Masyarakat Karo
Dalam pentas nasional dapat dikatakan masih sedikit sekali tokoh Karo yang muncul kepermukaan, bahkan belum ada pejuang dari masyarakat Karo yang berstatus sebagai pahlawan nasional. Padahal begitu banyak pejuang dan pengorbanan masyarakat Karo dalam berjuang mengusir penjajah. Yang menjadi masalah adalah sangat sedikit pemerhati dan pemikir Karo yang berusaha menggali dan mengusulkan nama pejuang menjadi pahlawan nasional. Mungkin hanya almarhum Prof. DR Masri Singarimbun satu-satunya yang telah berusaha secara ilmiah memberi perhatian dalam hal ini, yakni dengan mengankat nama Kiras Bangun atau Garamata dalam suatu seminar tahun 1993 di Kampus USU Medan. Kini Kiras Bangun telah resmi menjadi pahlawan nasional oleh Presiden SBY beberapa waktu lalu (MVW).
Kini, tampaknya kesadaran itu sudah mulai ada sejak pertengahan tahun 1990-an dengan mengabadikan nama Letjen Djamin Ginting menjadi nama jalan di Medan, Kabanjahe, Berastagi, Binjai dan Langkat. Tetapi itupun masih terbatas dalam beberapa wilayah Sumatera Utara, belum mencapai wilayah seluruh Indonesia. (Itu merupakan hutang sejarah kita ke depan). Selain itu juga telah dibangunnya tugu Djaga Depari di daerah Padang Bulan, Medan yang sangat berguna untuk pengenalan terhadap terhadap generasi muda tehadap komponis Karo yang produktif ini.
Selain itu, pemerintah kabupaten Karo juga mulai menyadari akan hal ini, yakni beberapa waktu silam, Bupati Karo Sinar Peranginangin telah menetapkan pembangunan tugu Ir. Soekarno setinggi tujuh meter di Berastagi. Hal ini juga merupakan salah satu cara menumbuhkan rasa kepahlawanan bagi masyarakat. Dimana Bapak Proklamator tersebut cukup dekat dengan rakyat Karo karena beliau pernah diasingkan di Berastagi bersama Bung Hatta pada bulan Desember 1948. Di dalam pengasingan juga pernah ditemani oleh Haji Agus Salim.
Selanjutnya, masyarakat Karo yang dikenal terbuka juga sering memberikan anugrah merga/beru bagi banyak tokoh di luar masyarakat Karo yang diangkat menjadi anggota masyarakat Karo. Cara ini sering disebut iosei/iuis-garai dan ditahbiskan dalam suatu upacara adat kemudian diberi merga atau beru. Tokoh yang pernah di-osei, antara lain:
- Megawati Soekarnoputri, dianugrahi beru Peranginangin ketika masih menjabat ketua PDI sebelum terbagi menjadi dua.
- Guruh Soekarnoputra, juga diberi merga Peranginangin
.
- Soedarmono, SH. Mantan Ketua Golkar diberi marga Sitepu.
- Letjen Dibyo Widodo, mantan Kapolri disahkan menjadi merga Kaban, dll.
D. Masyarakat Karo Di Era Otonomi Dan Dalam Konteks Globalisasi
Pembangunan sistem nilai kepahlawanan merupakan salah satu pemicu bagi eksistensinya suatu etnis. Lahirnya para pahlawan ataupun tokoh akan mendorong suatu generasi untuk terus berinovasi serta berusaha berbuat lebih baik. Saya kira hukumnya berbanding lurus. Semakin banyak pahlawan/tokoh dari suatu etnis, maka akan berpengaruh semakin bangga masyarat tersebut akan identitasnya.
Di dalam konteks otonomi daerah dan isu globalisasi, masyarakat Karo tentu harus terus berbenah tarutama dalam bidang pendidikan. Munculnya banyak tokoh di luar Tanah Karo akan mendorong generasi muda keluar dari daerah dan diharapkan pada waktunya muncul tokoh-tokoh muda Karo yang bertarap nasional dan internasional.
Thomas L Friedman, seorang jurnalis dari New York Times mengatakan, suatu bangsa akan lebih cepat maju apa bila bangsa itu terbuka. Artinya terbuka terhadap dunia luar (globalisasi ataupun pasar bebas). Ia menyebutkan, negara-negara terkebelakang di dunia seperti: Kuba, Korea Utara, negara-negara di sebagian Afrika menjadi negara miskin karena sistem negara itu tertutup dengan pergaulan dunia. Hal yang sama dapat kita jumpai pada suku-suku yang terkebelakang di nusantara, milsalnya Baduy di Jawa Barat, suku di pedalaman Sumatera, Kalimantan atau Papua, mereka sangat terkebelakang akibat belum terbuka dengan suku di luar mereka.
Sementera itu etnis yang tergolong tangguh di Asia yaitu etnis Cina. Menurut catatan John Naisbitt seorang futurolog, dalam bukunya Mega Trends Asia mengatakan, kumpulan dari seluruh cina perantauan secara ekonomi hanya mampu dikalahkan oleh Amerika. Mereka jauh lebih maju dibandingkan saudaranya yang tinggal di daratan Cina. Ia mengemukakan lagi bahwa komunitas Cina di Indonesia sekitar 4% tetapi mengontrol 70% ekonomi, di Thailand 3% mengontrol 60%, di Philipina 3% mengontrol 70%. Selanjutnya, banyak perusahaan di di bursa saham Asia pemegang saham mayoritasnya adalah etnis Cina. Di Thailand 81%, Singapura 80%, Indonesia 73%, Malaysia 62%, Philipina 50%.
Kesimpulan yang perlu ditarik dari hal tersebut bahwa dalam persaingan global maupun dalam konteks otonomi, bahwa populasi suatu etnis tidak satu-satunya yang menentukan, tetapi kualitaslah yang menjadi sangat penting. Hal tersebut dapat dijadikan menjadi tolok ukur bagi kalak Karo. Dimana bagi etnis Cina pendidikan itu menjadi suatu hal yang sangat penting, sehingga mereka selalu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik di dalam dan luar negeri. Selesai pendidikan mereka mencari kerja yang bergengsi di level menengah ke atas atau menciptakan lapangan kerja sendiri (wiraswasta). Kondisi itu telah terjadi di Indonesia, bahwa para manajer-manajer dan pinpinan perusahaan lebih banyak dari etnis Cina, sementara orang pribumi harus puas dengan status karyawan.
E. Penutup dan Saran
Melihat sangat sedikitnya orang Karo yang tampil kepermukaan sebagai pahlawan ataupun tokoh, maka kita sebagai generasi muda berhutang untuk menggali sejarah guna mengangkat fakta bahwa ada tokoh Karo yang layak diangkat sebagai pahlawan. Kita sebagai generasi muda Karo teruslah belajar dan mengembangkan diri, sehingga pada waktunya kelak kita juga layak menjadi tokoh yang menjadi teladan. Demikian tulisan ini. Kiranya bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
<p>Bujur ras mejuah-juah kita kerina.</p> <p> </p>
* Ditulis oleh Martin L Peranginangin, disampaikan pada seminar sehari Mahasiswa Karo se-Bandung Raya. Kampus ITB, 4 Oktober 2002
* Garamata (Kiras Bangun) dianugrahkan gelar pahlawan oleh presiden SBY pada 9 November 2005 daam rangka menyambut hari Pahlawan 10 November.
No comments:
Post a Comment